SEKULER TAPI MALU-MALU! (Esai)



Dimensi etnis dan ideologi sering menjadi identitas suatu bangsa. Sejak zaman klasik, mesir dan yunani mengelola peradaban yang berlandaskan kepercayaan dan nilai-nilai teologis. Bukan hanya dalam hal tatanan hidup masyarakat, tetapi juga interaksinya dengan teritori  lain. Trio Olimpians (Zeus, Poseidon, Hades) beradu eksis dengan trio piramida (Osiris, Iris, Ra).

Abad pertengahanpun demikian. Simbol-simbol religius disatukan dengan perangkat negara. Mulai dari bendera, nama, hingga jualan-jualan diplomasi. Sebut saja kekaisaran suci Romawi dah Khalifah turki utsmani.

Dua emperium besar di dunia pada waktu itu, melegitimasi agama menjadi idealisme dan identitas tunggal wilayah.  Bisa karena kompetisi dan dialektika dalam masyarakat yang akhirnya menghasilkan budaya monolitik, bisa juga disebabkan aturan penguasa yang mengikat dan rigid.

Bahasa dan etnis tertentu menjadi dominan dan digunakan orang untuk mendekskirpsikan negara atau kerajaan tersebut.

Republikanisme membawa ide tentang pemisahan antara yang Polish (Besifat publik dan menjunjung commont good) dan yang Oikos (bersifat private dan mengakomodir kepentingan personal). Ia memotori revolusi perancis yang radikalis, dan korporatif seperti yang terjadi di inggris. Menghancurkan monarki atau sekedar menjadikannya konstitusional dan memperkuat hak-hak sipil lalu meletakan rakyat sebagai subjek yang berdaulat.

Negara-negara eropa modern setelah revolusi perancis, walaupun tanpa identitas tunggal yang bersifat resmi,  tetap mempertahankan karakter bangsa. Dimana nilai entitas menjadi nafas dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah di negara tersebut.

Britania Raya lekat dengan suku Anglo-Saxon dan gereja Anglikannya, Saudi Arabia yang menjadi role model negeri Islam abad milenium, Itali yang tidak terpisahkan dengan dominasi katolik Vatikan, Brunei Darusallam, Malaysia serta Iran yang menjadikan Islam sebagai ideologi negara.

Bentuk negara republik serta metode demokratis yang diterapkan negara-negara di atas dalam menyelesaikan urusan publik, tetap menjadikan negara tersebut theokratis dan koservatif. Entitas mayoritas tersebut melabeli negara mereka lewat kampanye-kampanye idelogi, kemudian ditangkap penguasa sebagai suara yang harus diakomodir. Teologi yang menonjol diakuisisi menjadi bagian negara. Singkatnya, demokrasi tanpa sekularisme, res-publika rasa res-privata.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia negara Islam? iya, jika kalian melihatnya dari perspektif populasi penduduk atau karena keikutsertaan Indonesia dalam organisasi kerjasama Islam (OKI). Kedua hal itu sama sekali tidak ada pengaruhnya dalam sistem ketatanegaraan yang ada di negeri ini.

Penegakan hukum tidak berpatokan pada nilai-nilai adikodrati, tetapi jelas pada dasar negara, konsitusi serta perangkat undang-undang yang tidak bias identitas partikular. Beda dengan Arab saudi yang muslim, roma yang katolik, atau inggris yang bahkan di benderanyapun ada lambang salib St. Georgeus, santo yang sangat dihormati dunia kekristenan.

Di Indonesia kata sekularisme diidentikan dengan faham ateisme, serta anti terhadap agama. Padahal karakter yang dimiliki negeri ini sesuai dengan definisi leksikal dari Sekularisme itu sendiri. Dimana menurut Merriem-Webster Dictionary, ada tiga hal yang membuat suatu negara dapat dikatakan sekularis; Pemisahan agama dengan pemerintahan, kebebasan beragama, dan tidak memihak agama tertentu.

Presiden Indonesia tidak merangkap pemimpin agama, isi kitab suci tidak disadur secara tekstual dalam menyusun undang-undang serta Indonesia menjamin kebebasan beragama. Toh negara ini tidak menggunakan  satu identitas Agama menjadi simbol Indonesia. Tidak ada satu pasalpun dalam konstitusi kita yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara Islam, Kristen, Hindu, Budha maupun konghuchu.

Secara teoritis, kalau bukan sekuler, sebuah negara dipastikan bersifat teokratis, dimana prinsip-prinsip Ilahi memegang peran yang utama. Prinsip ilahi bersifat variatif tergantung identitas teologi yang dianut. Sehingga memunculkan negara seperti Malasya dan Britania Raya. Indonesia bersikap netral pada agama manapun yang dianut oleh rakyatnya, maka kita simpulkan saja Indonesia adalah negara sekuler.

Sebagian rakyat dan elite politik menafikan Sekularisme Indonesia yang merupakan kesimpulan ilmiah dari teori Sekularisme yang paling sederhana. Sistem pemerintahan tidak berlandaskan ajaran agama tertentu dan kebebasan beragama dijunjung tinggi. Mereka sering melabeli negeri ini sebagai negara yang berlandaskan agama, ingat! bukan negara islam (teokratis) tapi negara agama.

Sila pertama dijadikan  patokan untuk mengatakan Indonesia negara beragama. Seakan-akan jika menyatakan diri sekuler berarti anti agama. Padahal berbedaanya jelas, Indonesia tidak meresmikan agama tertentu menjadi idealisme negara, tetapi jika bicara soal iman dan ritual teologis, tidak ada yang menandingi Indonesia. Singkatnya, Indonesia negara Sekuler yang paling religius.

Para pemangku kebijakan dan perancang legislasi lupa kalau Indonesia punya setidaknya enam variasi moralitas yang dalam banyak poin berbeda dan tidak bisa disamakan. Tambah lagi agama-agama kepercayaan tradisional yang telah diakui oleh MK. Banyaknya identitas teologis masyarakat Indonesia seharusnya mendapat tempat yang sama jika Indonesia mencoba menerapkan pemerintahan theokratis.

Agama tertentu dilembagakan untuk mengeluarkan fatwa-fatwa yang dapat mempengaruhi kebijakan, apakah akan berdampak adil atau diterima secara sukarela oleh agama yang lain? belum tentu. Aplagi iman merupakan hal fundamental yang tidak mudah dicocok-cocokan.

Selanjutnya, urusan-urusan yang menjadi kepentingan bersama dan bersifat materil seperti pangan, lapangan kerja dan kesehatan, apakah bisa jika dialektika yang berlangsung dipenuhi dengan ayat-ayat suci? Tukar tambah ide dan gagasan tidak melalui solusi-solusi objektif melainkan firman-firman yang memilik subjektifitasnya sendiri-sendiri. Lantas sintesis macam apa yang harus dikeluarkan oleh pemerintah? diskriminasi tanpa efisiensi.

Para elit bangsa Indonesia melindungi diri di balik konsep "mengutamakan kepentingan mayoritas". Aneh, dari awal kesadaran kolektif bangsa ini faham bahwa setiap entitas religius, suku, ras dan gender setara secara prinsip, tetapi kemari-kemari jumlah penganut menciptakan golongan yang dipriortitaskan.

Esai ini, mengajak kita sekalian merefleksikan apa Indonesia itu, kemudian menyingkronkan dengan bagaimana seharusnya negara ini berjalan. Sehingga gesekan antara identitas bisa diminimalisir atau bahkan dicegah.

Rasa ketidakadilan menjadi alasan utama disintegrasi sosial terjadi. Kelompok yang moral teologisnya tidak terwadahi dalam undang-undang maupun kebijakan politik akan berusaha mempertanyakan mulai dari kritisi sampai mobilisasi masa aksi. Kemudian akan memicu reaksi dari kelompok yang merasa di anak emaskan. Sekali lagi, negara kemudian mengulang kembali narasi mayoritas demi terjaganya kondusifitas, lalu menambah kecurigaan dan memperlebar separasi di tengah-tengah masyarakat.

Kalau mau menjadi negara yang berlandaskan Agama, pilihlah satu identitas menjadi landasan prinsipil negara. Negara Islam Indonesia contohnya, sehingga seluruh rakyat akan patuh terhadap nilai-nilai islam yang terdapat dalam konstitusi. Tetapi Founding Parents kita sepakat menjadikan Indonesia sebuah republik dimana semua identitas dinilai setara tanpa memandang populasi.  Karena dengan memisahkan agama dengan negara secara kelembagaan, mencegah pemerintah bersikap berat sebelah.

 Makannya jelas, Indonesia itu sekuler, tetapi sekuler yang malu-malu.

Komentar