THE UNSAID LOVE (Cerpen)


Apakah harus ? Pertanyaan itu selalu saja terbesit ketika aku sampai di sebuah gedung megah dengan kaum borjuis yang mengantri untuk mengisi buku tamu. Empat pasang pria dan wanita berjejer rapi, memberi ucapan selamat datang dengan penuh sandiwara dibalik topeng bedak mereka yang menipis akibat larut dalam keringat. Senyum dibalik lelahnya berdiri jadi modal untuk makan gratis malam ini.

Pesta ini jadi ajang adu kaya antara para pemilik saham. Sedangkan pejabat publik malah berdiskusi ria tentang bagaima menggerogoti uang rakyat tanpa diketahui aparat hukum. Sebuah panggung drama yang komplit, nyata bahkan hampir tidak kentara kalau mereka sedang beradu akting.

Musik sudah meriah, hidangan sudah siap, tinggal langkahku saja yang berat untuk hadir di acara seperti ini.

Sekali lagi, apakah harus ? Pertanyaan yang pada ujungnya harus kuiyakan. Mengingat Jesika, gadis yang sangat kusayangi bersi keras agar aku datang malam ini. Mungkin karena cintaku yang besar kepadanya, membuatku rela memakai setelan jas mahal, berhias, memotong rambut bahkan memakai wangi-wangian mahal yang ia belikan untuku.

Bukan karena aku kurang percaya diri atau menganggap diriku tidak pantas berpesta pora seperti ini. Toh sebagai seorang duta besar, aku sering diundang makan malam oleh pemimpin negara dimana aku ditempatkan. Hanya saja, setelah kembali ke sini, ke sebuah pesta meriah yang diselenggarakan di kota tempat aku mengenyam bangku strata satu dahulu, memungkinkan diriku untuk bertemu dengan para pria rupawan yang jadi virus penghancur setiap balok cinta yang aku bangun dengan susah payah.

Kakiku lumpuh seketika, bagai tak ada lagi tulang penyangga yang menopang semangat mantan aktivis ini. Daya juang yang aku miliki semasa kuliah, yang bagi dosen koruptor di kampusku dianggap sebagai provokator, luntur dalam hitungan detik hanya karena patah hati.

Semua itu akan terulang. Mereka-mereka yang mencoba merebut Jesika dari tanganku akan berkumpul malam ini. Dibawah gemerlap lampu pesta yang panas, tambah lagi senyum mereka yang selalu tampak tak bersalah saat beradu siasat dalam pertarungan asmara dahulu.

Apalagi yang harus aku persiapkan ? otaku tidak lagi berpikir jernih sekarang. Teman-Teman kuliah, pejabat-pejabat lokal bahkan salah seorang menteri mencoba bertegur sapa, hanya dibalas oleh senyumku yang kentara sekali dibuat-buat.

Aku masih saja trauma, bahkan sampai saat ini. Walaupun sesungguhnya aku telah mencapai puncak kesuksesan, citaku-citaku telah kugapai dan orang tuaku telah bahagia, tetapi kecemasan ini masih saja tidak bisa kuhilangkan.

Memang semasa kuliah, aku yang pernah terpilih sebagai presiden mahasiwa, dan Jesika yang pada masa itu menjadi direktur umum sanggar teater di kampus kami, sering umbar kedekatan yang bagi mahasiswa lain dianggap layak untuk dijadikan rolemodel sebagai pasangan yang tidak pernah menurun sedikitpun dalam soal organisasi dan prestasi.

Bayangan kecemburuan terus menghantuiku. Sudah berulang kali aku melewatkan kesempatan bersenda gurau dengan mantan dosen-dosen yang juga diundang pada malam ini. Berbeda dengan kebanykan pria, yang marah dan memasang badan ketika pria lain mencoba mendekati gadis pujaannya, aku diam saja sembari menangis dalam hati.

Jesika tidak seperti wanita pada umumnya, yang menyerahkan segenap jiwa dan raga pada sang ksatria untuk selalu siaga di sampingnya. Ia bangga ketika mahasiswa dikampus pada waktu itu, khusunya pria, banyak yang mengidolakannya. Memiliki banyak teman dan disayangi oleh orang-orang disekitarnya merupakan kebahagiaan tersendiri bagi gadis tomboy seperti Jesika, dan aku tak mungkin tega merenggut hal itu darinya.

Sebagai kesayangan banyak orang dan jadi teladan bagi junior-juniorya di kampus, Jesika merasa risih jika selalu disanding-sandikan dengan status pacaran, yang berarti ada seorang pria yang memiliki hak atas dirinya.

Hatiku tidak sekuat baja, keinginan menerima pilihan sang kekasih berbanding terbalik dengan rasa khawatir yang bagai penyakit ganas, kian tumbuh menjalar hingga mematikan tubuh Inang.

Jesika membuka diri bagi siapapun yang ingin mengenalnya lebih dekat. Sebaliknya ia menutup diri jika ada lelaki lain yang ingin menggiring dia ke dalam dunia percintaan.

“Tenanglah! Yang penting kita saling mengetahui perasaan satu sama lain” sepenggal guyonan yang selalu Jesika katakan padaku. Dan parahnya, aku hanya binatang berkaki dua yang tak bisa berserah begitu saja tanpa ketakutan.

Apakah dia benar-benar mencintaiku ? ataukah itu hanya caranya sehingga bisa dekat dengan lelaki lain tanpa merasa bersalah.

Laki-laki lain. Tiga orang tepatnya. Seorang senior bernama Lukman, teman seangkatanku yang bernama Sinyo dan seorang junior bernama Markus. Tiga pria yang dengan gencar selalu memaksa karisma mereka menembus perisai hati Jesika dalam bentuk keramah-tamahan, tapi kadang diselingi pengakuan.

“Sial! Mereka bilang kalau mereka mencintaimu ?”

“Iya”

“Biadab!”

“Kenapa kau marah? jangan kau larang seseorang mengungkapkan perasaannya padaku! itu hak mereka, dan yang terpenting, bukan apa yang ada dalam hati mereka, tapi apa yang kurasakan”

“Kau tidak menyukai salah satu dari mereka kan ? kau menyukaiku ?”

“Tolonglah! Kau tahu jawabannya, dan aku muak untuk mengatakannya kesekian kali. Berhentilah membahas ini, atau aku akan menghapusmu dari kontak blackberry massenger-ku”

Selalu saja itu yang jadi pembelaan Jesika ketika dulu aku membawa permasalahan ini dalam percakapan kami. Bukan menenangkan egonya yang haus akan pujian dan kasih sayang, tapi malah rasa cemburu dan upayaku mengekang yang kian menguat. Di tambah lagi rambutnya kini telah memanjang. Berbeda dari gaya rambutnya dulu, pendek dan seperti pria.

Lengkap sudah. Sisi feminimnya yang lama tersembunyi di balik perangai yang maskulin, kini terlihat melalui paras anggun dan gerak tubuhnya malam ini. Semakin bengislah para pesaing mencoba merebut Jesika dariku.

Jesika masih saja bertegur sapa dengan pria-pria yang membuatku sakit kepala dari tadi. Aku kembali ke fase kegilaan masa mudaku. Gila dalam kecemburuan yang tidak pernah ditenangkan olehnya.

Malahan Jesika yang kini telah menjadi seorang gubernur di ibu kota negara, kian ramah kepada mereka bertiga yang sudah terlebih dahulu bertemu dengannya sebelum aku tiba disini. Apakah aku akan mengalami deJavu malam ini ? haruskah aku memperkarakan hingg seperti yang aku lakukan dulu ? Percuma! Jesika akan malu dan mulai kejam dengan perkataan maut andalannya,
“Sudirman kamu bukan siapa-siapa!” .

Kalimat itu secara otomatis akan membuat Lukman menjadi pria super baik tak pandang modal seperti yang ia lakukan dulu demi membuat Jesika tetap di sampingnya, atau Sinyo yang mulai memamerkan wajahnya yang tampan demi memunculkan decak kagum dalam hati Jesika. Tidak mau kalah, Markus pasti akan melakukan kiat-kiatnya agar Jesika mau meladeni rayuannya.
Aku hanya memandang Jesika dari jauh dengan tangan terkepal. Muka merah dan alis terangkat tinggi. Aku belum dewasa. Perasaan ini sama, dan eksekusinya nanti juga dalam bentuk yang sama, mengancam ketiga orang itu diam-diam lewat akun anonim.

“Sudirman kau kah itu ?” tiba-tiba tatapan benciku kepada mereka bertiga teralih kepada gadis cantik yang memanggilku lembut. Kuperhatikan paras gadis yang selalu jadi alasan mengapa aku tersenyum, entah itu dengan tawa atau amarahnya yang sering dialamatkan kepadaku. Begitu menawan bersama kalung Rosario putih yang ia kenakan di lehernya, sebuah hadiah yang kuberikan sebagai ucapan syukur karena Tuhan mempertemukan kita berdua, “Semua undangan sudah menunggumu dari tadi. Apakah kau rela membuatku duduk sendirian di pelaminan ?” kata Jesika.

“Maaf maaf aku terjebak macet tadi” jawabku sembari berjalan menuju pelaminan, tempat seorang gadis tomboy telah menungguku dengan gaun putih, yang bahkan sampai sekarang, masih terlihat lucu di tubuhnya”

“Bismillahirohmanirhim” batinku dalam hati. Menenangkan amarah yang tadi sempat berkobar.

“Masih ?” tanya Jesika seakan dapat membaca isi pikiranku.

“Hmm” Aku mengangguk.

“Ya Ampun Sudirman, aku sudah pernah memberitahukannya padamu”

Said again!”

“Baiklah, tapi ini yang terakhir!”

“Janji ?”

“Janji!” aku mantap mengiyakan

“Aku tidak menyukai mereka. Aku bahkan jijik dengan cara mereka mendekatiku. Kau selalu menjadi pilihanku sejak dahulu”

Got it! Ini yang ke 7.749 kali hahahha”

“Sudah kuduga Sudirman, kau hanya ingin aku mengucapkannya”

“Makasih Jesika”

“Dasaaar!!----“

“sssst, MC akan segera memulai acara resepsi pernikahan” pintaku sambil menempelkan jari telunjuku di bibirnya yang mungil.



Luwuk, 30 Desember 2018

Komentar