RUKMINI (Cerpen)


Seorang nenek tua dengan daster compang-camping dan kulit yang hampir terpisah dari daging wajahnya,berjalan mondar mandir layaknya setrika di permukaan kemeja kusut. Rumahnya yang kumuh dengan atap terbuat dari anyaman bambu, serta dinding dari bahan tripleks itu tidak dapat melindunginya dari  gelak tawa serta gurauan-gurauan kasar yang terdengar dari rumah sebelah. Suara-suara itu membuat si nyonya tua tak dapat masuk ke dalam alam mimpi dan mengharuskannya meneguk beberapa butir obat tidur.

“Dasar anak mudah kurang ajar!” gumam si nenek tiap kali melihat wajah pria-pria bengis yang selalu bermain perempuan dan menghabiskan ratusan botol miras tiap malamnya. Tangan kurus kerempeng dalam usia yang sudah terbilang senja, jelas tidak mampu meredam keributan para pemabuk di samping rumahnya. Teguran perempuan yang lebih tua puluhan tahun dari mereka itu pun, tidak pernah diindahkan.

“Pergilah ke neraka wahai wanita busuk!” begitulah makian yang sering mereka sampaikan, tatkala kenyamanan, yah menurut mereka sebuah kenyamanan, terusik oleh suara cempreng seorang kartini renta yang hitam lingkar matanya akibat kurang tidur. Bukan kurang tidur akibat menderita penyakit anemia, tetapi dengan sengaja 'hak tidurnya dirampas oleh tongkrongan gerombolan sampah masyarakat. 

Siang harus berkebun untuk memenuhi kebutuhan hidup, sore begitu lelah sehabis bekerja, tetapi malam, sering ia harus menangis di kursi goyangnya sambil menatap foto almarhum suaminya, "andai saja kau disini, setidaknya aku bisa berbincang denganmu ketika terjaga semalaman. Yusuf, Yusuf, sudah mandul, mati pula, hiiks hiiks hiiks".

Sudah berapa kali nenek Rukmini harus menelpon aparat keamanan agar ia boleh terlelap, tetapi yang ia dapati justru sebaliknya. Rukmini geram saat melihat apa yang ada dari balik jendela-nya. Polisi, baik yang berpangkat bintara hingga seorang letnan, malah hanya bersenda gurau dengan para pemuda itu. 

Tidak ada tembakan peringatan di udara, tidak ada bunyi gadu, atau wejangan-wejangan serius yang mereka berikan, melainkan hanya sebuah klausa pendek, jahat, sarkas bahkan sering membuat si nenek menangis,“gampang semua bisa diatur!”.Tanpa aksi berarti, polisi itu pun membiarkan begitu saja tingkah konyol anak-anak durhaka itu, setelah mengantungi sejumlah uang, plus selusin botol bir.

Sering kali muncul pahlawan-pahlawan kesiangan muncul untuk membela nenek Rukmini. Masih ada juga, manusia yang jiwanya manusia di zaman yang notabene dihuni binatang berkostum manusia. Bukannya menang, atau membuat para pemabuk itu jera, pukulan demi pukulan malah sering mereka dapatkan. Ada yang hanya sekedar keseleo, memar hingga yang penglihatan jadi kabur.

“Aneh kan? rumah  pejabat dijaga oleh belasan lelaki bertabiat busuk. Menurutku dia hanya ingin menunjukan kekuatannya sebagai seorang kepala desa” Jawab nenek Rukmini kepada seorang pemuda dengan wajah lebam, duduk di teras didampingi secangkir kopi panas bikinan si nenek. "Sudah dua bulan sejak pertemuan kepala desa se-indonesia di Jakarta, ia tidak pernah kembali. emangnya ada yah diklat selama itu?"

"Yah bisa jadi, jika pembahasan-nya alot dan penting"

"Ah tapi tidak bisa seperti itu. Desa ini lama-lama jadi desa preman, yang dibantu oleh tikus-tikus berpistol. Kita butuh pemimpin untuk memperbaiki keadaan"

“Sudahlah! lebih baik nenek diam saja dirumah, biarlah tidurmu hancur asal jangan nyawamu melayang” pemuda tadi mencoba membujuk nenek Rukmini agar berhenti menegur para preman tadi.

“Kalian bisa berkata begitu karena amarah kalian dengan mudah dipadamkan, oleh tawa canda keluarga dirumah. Tapi aku, aku hanyalah seorang janda tua tanpa keturunan. Orang yang bersedia menjenguk dan bercakap denganku hanyalah mereka, para lelaki kasar yang tidak segan-segan meludahi-ku. Sekarang pulang lah dan bersembunyi di balik ketiak istrimu nak !” malu sudah pemuda itu karena sindiran pedas si nenek, “Assalamualaikum” lelaki tadi tertunduk malu dan segera berjalan melewati pagar.

Baru saja wanita tua itu dapat menikmati se-detik saja waktunya tanpa kegaduhan, sahut-sahutan dengan bahasa yang kasar pun terdengar dari sebelah rumah. Jari tengah menjadi santapan tiap hari si nenek, tatkala ia sedang menyiram tanaman-nya dengan sedikit saja rasa suka cita. 

Hanya dengan mengelus dadanya sendiri, nenek itu mampu menurunkan kembali darahnya yang telah mencapai ubun-ubun, “Tuhan dikau tahu mana setan mana manusia lemah, tolong lekas panggil mereka ke kehadiratmu, jika hati ini sudah lelah, aku sendiri yang akan mencabut mereka”.

Selang beberapa menit, dua orang gadis bertubuh sintal dengan belahan dada mengangah berjalan angkuh di depan rumah nenek Rukmini, “Hai beb mau gabung nggak !” disertai tawa menghina yang terdengar dari bibir mereka yang berlumuran lipstik merah menyalah itu.

“Mati kau anak durhaka! ku bunuh kalian semua” entah hanya ancaman atau benar itu adalah sumpah serapah, pokoknya perkataan si nenek berhasil membuat pelacur tadi lari tunggang langgang menghampiri seorang lelaki yang rupanya tidak senang dengan perkataan si nenek, “tamat riwayat-mu dasar janda bau tanah!” hujat lelaki itu sembari mengacungkan belati perak ke arah nenek Rukmini.

Malam hari, nenek Rukmini tak henti-hentinya mengasah parang peninggalan suaminya yang biasa dipakai berkebun, bau tanah dan rerumputan masih tercium jelas di permukaan parang yang telah tertutup oleh karat.

“Sudah cukup penderitaan-ku, sudah cukup sabar diriku, tapi aku tidak tahan lagi, setidaknya harus ada satu orang yang kubunuh malam ini”.

Hanya berjarak lima langkah dari pekarangan rumahnya, nenek Rukmini dengan mudah berjalan ke rumah  itu sambil memegang parang di tangan kanannya. “Akkkkkkkh” terdengar suara pelacur tadi mengagetkan jantung nenek Rukmini yang lemah.  Keringat dingin mengalir membasahi dahi keriput nenek Rukmini. 

Nafas-nya Pun menjadi tidak beraturan tatkala melihat kepala preman yang memaki-nya tadi sore kini hancur lebur, terbaring di lantai rumah itu beserta isi kepala yang sudah tak jelas lagi bentuknya,”Biadab! berani-beraninya kau selingkuh dengan istriku”

“Mas! sudahlah mas! ampun!” teriak seorang wanita, yang dari penampilannya, orang bisa saja mengira istri perwira tersebut adalah seorang PSK. Ia merintih, mengharap pengampunan kepada suaminya yang malam itu masih lengkap dengan seragam dan atribut kepolisian.

“Diam kau wanita murahan!” sekali lagi, “Dor!” dua pasang mayat dengan otak berhamburan keluar dari tengkorak, kini menghiasi lantai rumah para komplotan preman dan tukang pukul yang selalu mengganggu ketenangan nenek Rukmini.
Sementara itu, si nenek yang tadinya berniat untuk mencabik-cabik jiwa para pendosa itupun, hanya bisa bungkam seribu bahasa di gubuk reyot miliknya.

Warga perkampungan dipaksa bangun dari tidur nyenyak mereka oleh suara tembakan sang inspektur polisi. Bersenjatakan peralatan berkebun, seperti sabit dan palu arit, mereka siap meredam keributan yang tentu dengan membabat habis biang keladi-nya.

Rumah  yang selalu dijadikan kasino itu, saat ini telah menjadi lautan darah akibat amukan warga yang tak lagi terkendali. Warga desa mengejar pelaku pembunuhan hingga ke setiap sudut rumah, bahkan petugas kepolisian lain yang hadir saat itu, dijadikan pelampiasan amarah hingga dengan terpaksa, demi melindungi diri, peluru timah pun mereka tembakan tepat di jantung para warga.

Tidak bisa di pahami lagi, siapa dalang dan wayang dalam tragedi berdarah kali ini. Yang jelas nenek Rukmini bahkan belum mengangkat pedangnya. Sebelum ia membunyikan genderang perang, orang-orang yang selalu mengusik masa tuanya sekarang berakhir di ujung belati masing-masing.

“Apa yang terjadi?” tanya seorang wartawan yang dengan takut mencoba menguak informasi terkait apa yang dilihatnya saat ini. Rumah seorang kepala desa menjadi arena saling bunuh antara warganya sendiri.

“Tuhan” jawab nenek Rukmini.

“Ada apa dengan Tuhan?”

“Tuhan sedang menghukum para binatang”

“Maksudmu apa,nek? tolong jelaskan padaku” wartawan itu tampak berseri, seakan kemenangan atas keberhasilan menulis berita aktual telah dicapainya.

“Tuhan membiarkan binatang saling bunuh. Yang kurang ajar, yang penjilat dan mereka yang tidak peduli”

“Bagaimana dengan kepala desa? ”

“Kau bisa bertanya sendiri padanya” nenek Rukmini mengangkat kepala si kepala desa dan menunjukkannya kepada wartawan tersebut. Dari kulit kepala yang perlahan mengendur, tambah lagi baunya yang sangat menyengat, dipastikan kepala tersebut telah disimpannya selama beberapa hari.

“ke ke kenapa kepala desa juga harus dihukum ?” tanya wartawan ketakutan.
“Karena dia binatang, binatang yang membiarkan kawasannya saling serang tanpa ada solusi konkrit yang ia lakukan. Binatang yang tega menelantarkan seorang nenek, tertindas dan membiarkannya melarat hingga akhir ajalnya. Tapi ini belum berakhir?” nenek Rukmini mengambil kembali parang yang sebelumnya telah ia letakkan di atas meja.

“Apa akan ada lagi yang dihukum?”

“Iya, kamu nak!” tikaman parang menembus perut wartawan itu hingga membuatnya memuntahkan darah segar, “kau dihukum karena kau hanya terus berceloteh, mengkritik tanpa mengambil tindakan yang pasti. Kau lebih mementingkan namamu terpampang di kolom surat kabar daripada menolong seorang nenek yang lemah ini hahahah hahahaha”



Luwuk, 16 Maret 2020

Komentar