TOLERAN KOK GAGAL PAHAM! (Esai)



Dalam pembabakan sejarah, Indonesia telah melalui periode, fasa, masa ataupun era dengan ciri dan kekhasan masing-masing. Kolonialisme yang syarat akan penderitaan dan ketertinggalan, Orde lama dengan jualanan Nasakomnya, orde baru hingga reformasi yang kata media mainstream zaman dimana demokrasi telah  ditegakan secara paripurna. Tidak lagi diculik atau mati ditempat maksudnya.

Era ini kurang jelas esensinya. KKN masih marak, juga UU MD3 serta pasal penghinaan presiden yang pelan-pelan sedang ditegakan. Ujungnya anti kritik dan yah, dituduh subversif. 

Kalau reformasi hanya menyoal elit dan kebebasan berserikat, maka belum pantas bagi Indonesia untuk diklaim penuh berada dalam era Reformasi. Entah apa yang ditata-ulang, malah kesalahan dan kejahatan dilanjutkan dengan modus dan oknum yang berbeda. Kalau kata Prof Rocky Gerung, “Kita baru keluar dari era orde baru, belum masuk ke-Reformasi”.

Berangkat dari pernyataan beliau, saya kemudian mencari definisi yang pas terkait positioning Indonesia saat ini. Tren demi tren, dari satu sikon ke sikon yang lain, serta isu yang paling hangat diperbincangkan di ruang publik, saya menyimpulkan bahwa toleransi adalah tema yang bergejolak dalam lisan maupum tulisan, bahkan mungkin di alam bawah sadar rakyat indonesia saat ini. Terlihat dari fenomena sosial, opini yang dikeluarkan media serta statemen-stamen tokoh politik, semuanya singkron ke urusan-urusan toleransi, baik yang menumbuhkan maupun yang menghancurkan.

Era Toleransi saya definisikan sebagai era dilebih-lebihkannya atau dikhawatirkan toleransi akan hilang dari negeri ini. nothing’s wrong with that. Ibarat kalian menatap ke langit, lalu berpikir bahwa bulan akan hilang selamanya. Sesuatu yang sejatinya ada disana, sekarang bagi rakyat Indonesia yang tergiring opini ciptaan media dan sikap-sikap para elit, akan hilang jika berhenti dikampanyekan.

Era Toleransi ada awalnya, tidak serta merta pemerintah sadar lalu mengangkatnya kembali sebagai instrumen pemersatu bangsa. “Bineka Tunggal Ika” yang final jadi jalan pintas dalam menyelesaikan separasi ruang dan masyarakat akibat pilkada Jakarta. Seakan masuknya Ahok ke Penjara adalah bentuk kekalahan suatu golonggan yang disebabkan desakan golongan yang lain. Jika memang demikian, biarkan masyarakat tetap berpikir positif dengan memandangnya sebagai kasus hukum atau bentuk propaganda maupun kampanye politik. Bukan malah membiarkan media membentuk opini seenaknya soal persatuan Indonesia yang teranjam, malah mengkonfersinya menjadi permasalahan urgen yang harus terus diviralkan.

Toleransi yang hangat dikaji di sana-sini, mempersempit ingatan kolektif bangsa soal toleransi, atau bagaimana ia harus bersikap toleran. KBBI mendefiniskan toleran sebagai sikap menerima, memperbolehkan, membiarkan suatu pendirian yang berbeda dari pendiriannya sendiri. Pendirian adalah kata abstrak yang menyangkut apapun dalam diri seseorang. Bukan hanya agama, suku dan bahasa, tetapi juga gender, keadaan fisik, phisikis bahkan pilihan seseorang selama tidak mengancam eksistensi kita, harus dihargai sebagai bentuk rasa toleransi.

Media masa, didukung pemerintah, lalu diamini oleh sebagian besar masyarakat, mengkerdilkan makna toleransi menjadi kartel bagi mereka-mereka yang ingin masuk surga. Agama jadi hal utama yang harus didamaikan dengan dengan dalil toleransi. Semua kitab  suci jelas mengajarkan untuk mengasihi semua manusia, serta mereka mengaku menyembah kepada Tuhan yang esa, walaupun metode dan tata cara yang berbeda.

Para pemeluk agama memiliki pendirian yang sama, sama-sama percaya kepada Tuhan. Sikap toleran yang logis untuk dilakukan adalah menghargai orang yang berbeda pendirian, si Ateis dan Agostik. Bisakah? Jelas tidak. pengertian toleransi dikerdikal menjadi jabatan tangan, saling peluk, pawai bersama dan diskusi lintas pemeluk Agama. Lalu bagaimana sikap mereka terhadap yang tidak bertuhan? Sinis dan cenderung membenci.

Saya merasa perlu menyelamatkan kata toleransi yang semakin dipersempit maknanya. Dari yang tadinya antar agama, sekarang dibuat tidak perlu. Cukup menghargai saja yang beda aliran yang penting masih se-iman.

Saya tidak mengklaim bahwa keseluruhan rakyat Indonesia berpendapat demikian. Toh yang saya sasar para pembaca yang ikut-ikut era Toleransi settingan elit negara yang entah apa maksudnya. Mengulang konsensus nasional yang sebenarnya baik-baik saja. Jangan sampai kita menjujung tinggi toleransi, tetapi intoleran terhadap golongan masyarakat yang lain. Ingat, rakyat Indonesia tidak cuma Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghuchu.

Kepercayaan adalah ruang pribadi yang disimpulkan berdasarkan pengalaman dan pilihan tiap Individu, sebaliknya bukan kesepakatan kolektif yang dipaksa dianut oleh seseorang. Kita tidak bisa menjamin, 261 Juta rakyat Indonesia mengimani secara absolut salah satu dari keenam agama yang diakui. Lagipula bergama adalah hak yang dijamin di dalam konstitusi, bukan kewajiban. Boleh dipakai, boleh tidak.

Sama saja ketika menyoal LGBT yang merupakan pilihan personal selama tidak merugikan kita, dimana proses menasihati dan mengajak untuk mengikuti pendirian yang kalian anggap baik, tidak apa-apa untuk dilakukan. Tapi segala bentuk diskriminasi dan tindakan represif, maaf saja, itu bentuk penghancuran bukan penerimaan.

Bagaimana dengan saudara-saudara kalian yang menyandang disabilitas? Mereka 12% dari keseluruhan rakyat Indonesia. Masih sering mendapat anggapan abnormal dari masyarakat, juga menempatkan mereka diposisi lebih rendah untuk mengisi sektor-sektor kehidupan sosial.

Apakah kalian yakin sudah toleran? Tidak jika mereka masih kalian pandang sebelah mata. Belum mampu menahan lidah untuk mengeluarkan cibiran? Toleransimu sempit kawan jika tidak bisa menerima mereka sepenuh hati sebagai bagian dari bangsa ini.

Selanjutnya terkait kesetaraan gender. Dalam hal hak, kesempatan dan pergaulan seharusnya perempuan menempati posisi yang sama. Tapi negara, yang berangkat dari komunitas-komunitas kecil dimasyarakat menjadikan perempuan sebagai sosok tanpa eksistensi yang mandiri. Tidak dapat mendefinisikan diri selain yang diberikan oleh norma dalam masyarakat. Menjadi manusia nomor dua yang harus menerima gagasan dari lelaki, bukan sebagai pelaksana mimpi yang ia minati secara pribadi. Sungguh kawan, kalian belum toleran jika masih mendiskriminasi kelompok penting dari bangsa, kelompok yang dari mereka etika, moral serta ajaran berasal, perempuan.

Bukan cuma kalian yang khilaf bersikap intoleran terhadap wanita dan difabel. Kebijakan publik dan pembanguan infrastruktur juga tidak menunjang aktivitas keseharian mereka. Jarang ditemukan lajur khusus bagi penyandang disabilitas di tempat-tempat umum. Posisi-posisi strategis baik di institusi pemerintahan maupun swasta, selalu mendahulukan laki-laki, baru kemudian perempuan sebagai alternatif.

Mana toleransi yang digembar-gemborkan pemerintah saat ini. Cobalah mulai dari menghargai dan menerima rakyatmu dengan sepenuh hati tanpa terkecuali. Bukan hanya long march ormas-ormas keagamaan sambil bergandengan tangan menjelang tujuh belas agustus.

Entah kesalahaan dalam pemaknaan atau arogansi patriarki yang membudaya di tubuh bangsa ini. Masyarakat harmonis dibentuk dengan memilih-milih siapa yang dicintai dan dihargai. Era Toleransi yang mendamaikan golongan yang besar dari segi jumlah dan pengaruh, tentu untuk membangun koalisi demi suksesi politik. Toleransi, kasih sayang dan cinta terlalu universal jika hanya ditelaah melalui perspektif agama dan suku bangsa, dan juga terlalu rumit untuk hanya sekedar disablon di kaos dan dijadikan hashtag kampanye.

Komentar