TUHAN TIDAK SERASIS ITU (Esai)



Pernah mendengar soal Holokaus? menyaksikan berita tentang suku Rohingya di Myanmar ? atau mengikuti rentetan pembataian yang dilakukan oleh ISIS? kalau iya, simpulkan apa persamaan dari ketiga momen di atas. Sederahana, akumulasi sikap rasis yang berujung pada terjadinya genosida.
Lebih dalam lagi, para oknum di atas, yang mengklaim diri dan golongan mereka paling benar, bertindak atas nama Tuhan. Lantas gugatan moral seluhur dan sesuci apapun yang kalian lontarkan untuk mengkritik mereka, tidak akan berguna. Toh apa yang mereka perbuat adalah perintah yang maha luhur, yang maha suci.

Rasime, mulai dari berprasangka buruk, mendiskriminasi, mendiskreditkan dalam percakapan publik, memarjinalkan dalam interaksi sosial, hingga yang paling parah, melakukan pembantaian masal dan penghapusan secarah menyeluruh dan sistematis terhadap etnis dan agama tertentu, adalah tindakan yang mencoreng nilai-nilai kemanusiaan. Di tambah lagi, pekerjaan kotor tersebut mendapat motivasi yang kuat dengan menjadikan Tuhan dan fanatisme agama  sebagai  dalang dari tindakan mereka.

Benar kalau interpretasi mereka terhadap Tuhan kita percaya sebagai sebuah kebenaran. Lalu merekapun bisa berpangku tangan, senyum manis dan mati dalam keadaan bahagia. Siap memasuki nirvana yang penuh akan kenikmatan. Hadiah bagi para pejuang Agama.

Sesederhana itukah? tingkah makhluk adalah tingkah Tuhan? pikiran makhluk adalah pikiran Tuhan ?  karena dalil para pembawa image agama pada kasus-kasus di atas adalah  kebencian Tuhan pada olongan atau agama lain. Jangan-jangan kalian juga berpikir, rasisme makhluk datang dari Tuhan yang rasis?

Mari wahai pembaca yang budiman. Luangkan waktu untuk memahami pandangan subjektif saya soal Tuhan. Mau bagaimana lagi, esai ini, esai saya.

Berbicara tentang Tuhan di lingkungan yang begitu majemuk dan pluralis tidak bisa hanya menggunakan satu sudut pandang agama saja. Harus menemukan titik temu dari berbagai ajaran keilahian dan mendeduksinya menjadi sebuah kesimpulan mengenai sifat Tuhan secara universal. Karena percakapan publik haruslah dapat dikonsumsi oleh semua kalangan.

Jelas berbeda dengan makhluk. Semua agama menempatkan Tuhan pada hirarki jauh di atas ciptaanya dan memiliki kehendak yang secara signifikan diluar daya manusia. Dalam berbagai platform teologi yang beragam, Tuhan dideskripsikan sebagai wujud yang serba maha, Maha kuasa, Maha tahu, Maha pengasih dan tentunya Maha penyayang.

Suatu keniscayaan ketika ia menciptakan perbedaan di muka bumi ini. Baik itu dari sisi etnisitas maupun Agama. Eksistensi-Nya tunggal dan universal. Pemilik segala bentuk identitas yang hidup di muka bumi ini. Mulai dari kelompok ras yang dominan hingga makhluk langka yang hampir punah. Statement Tuhan Esa yang dikemukaan masing-masing agama lantas tidak menjadikan yang esa-esa tadi menjadi lebih dari satu Esa. Ia hanya satu, bentuk interpretasi dan refleksinya saja yang berbeda di tiap-tiap kebudayaan.

Tidak ada saling klaim kepemilikan atas alam dan seisinya, apapun bentuk ritual dan dalilnya, mereka  sama-sama ciptaan sang Khaliq.

Manusia cenderung menilai subjektif  diri dan lingkungannya. Ia akan merasa nyaman jika berada di antara orang-orang yang memiliki kebiasaan, budaya dan pola interaksi sosial yang sama, karena ia tidak perlu beradaptapsi dengan kondisi yang baru. Rasa nyaman tersebut mempererat ikatan emosi dan rasa persaudaran antar satu sama lain, bahkan menimbulkan glorifikasi berlebihan terhadap golongannya.

Lantas apakah Tuhan diam saja melihat hal ini ? mengizinkan keberagaman secara masif tumbuh dengan pesat di muka bumi, tanpa mempertimbangkan kunci agar manusia tetap bisa  saling menganggap keluarga? Tentu saja tidak. Tuhan lewat sifat dominannya yang Maha kasih lagi Maha penyayang mentautkan cinta pada setiap insan. Menyebabkan yang berbeda bisa hidup berdampingan.

Ketika Ia berkehdak, maka cinta dapat dirasakan oleh siapapun tanpa bisa ditolak. Cinta bertransformasi menjadi hubungan persahabatan, kekeluargaan dan kasih sayang antar sesama manusia, melewati batas etnisitas dan golongan. Karena ia datang dari sesuatu yang universal, maka cinta dapat dimiliki secara universal pula.

Tiada batasan bagi Tuhan dalam menyayangi makhluk ciptaannya. Semua berhak di kasihinya. Penjewantahan dari kasih yang ia takdirkan berada di antara makhluknya, adalah konsep hubungan saling membantu, mengembangkan, menumbukan, dan melindungi di antara sesama manusia, bahkan juga berlaku bagi hubungan manusia dengan makhluk lainnya. Bukan malah jenis interaksi berupa penghancuraan dan pemusnahan, seperti genosida, perburuan liar dan Ilegal loging.

Saya bukanlah seorang teolog, tetapi jika ada agama yang memberikan status pendosa kepada mereka yang mencintai kelompok yang berbeda dari mereka?atau menghadaihkan pahala bagi pengikutnya yang membenci agama lain? dan mengizinkan mengeksploitasi hewan dan tumbuhan secara tidak bertanggung jawab dengan dalil memanfaatkan ciptaan-Nya? maaf saja, menurut saya mungkin ada interpretasi yang keliru terhadap Agama, jalan hidup yang seharunya mengajak manusia pada kebaikan.

Ibarat ibu yang melahirkan dua orang anak. Ia tidak akan membeci salah satunya, atau terlalu mengunggulkan yang lain. Sebagai yang melahirkan keduanya, ia tidak mungkin menyuruh anaknya untuk saling benci. Begitulah Tuhan, karena ia tidak serasis itu.

Komentar