NEGARA TANPA CELANA (Bukan cerpen erotis)



Masa kepemimpininan si kurus tinggal setahun. Publik mulai riuh soal pengganti yang sesuai proporsi. Standar yang diterapkan kian melenceng. Bukan lagi soal kemampuan mengelola negara yang mempuni, tetapi latar belakang kandidat presiden semakin jadi sorotan. Mulai dari urusan bagaimana ia berdo’a sampai sukupun ikut-ikut jadi bahan pertimbangan.

Di negeri ini, kecerdasan mengatur negara jadi kriteria sampingan. Prestasi, ide dan gagasan disisihkan dari ruang publik tatkala berdebat soal Presiden. Yang penting identitas negara tetap di pertahankan. Cara ia menyembah Tuhan harus sejalan dengan mereka yang menyebut diri mayoritas. Apalagi kalau berasal dari etnis yang dicap pendatang. Pantang untuk masuk istana.

Itulah potret masyarakat yang katanya menjunjung tinggi toleransi dan kemajemukan. SARA tidak pernah bisa diselesaikan tanpa amarah. Selalu saja mengkotakan diri dalam perbedaan. Malah menjadikannya senjata untuk menjatuhkan kandidat yang bukan kaum mereka.

Mengklaim negara yang menjunjung kesatuan dan persatuan. Nyatanya cuma gara-gara pemilu, kesetaraan ditiadakan. Semua orang selalu berkata, “Agama kami paling baik, suku kami paling ideal untuk memimpin”. Lantas kenapa tidak mendirikan pemerintahan masing-masing saja ?.

Mengemis minta pemimpin yang adil, padahal adil tidak pernah jadi acuan. Berkoar butuh pemimpin yang jujur, kejujuran sering dikesampingkan. Selalu saja tentang siapa, bukan apa yang telah dan bisa diperbuat.

Jangankan masalah surga dan kesamaan nenek moyang. Bahkan hal-hal sederhana selalu diperdebatkan. Mulai dari visi, idealisme, opini, penilaian terhadap sesuatu, hingga selera yang seharusnya jadi klaim individual. Entah itu soal kuliner, otomotif, olahraga, fashion, terlebih khusus soal celana.

Pening aku memikirkan arogansi negeri ini. Sehelai kain penutup kemaluanpun jadi bahan perdebatan. Semakin hari publik dan media semakin ngaur. Saling serang opini, lempar fitnah sana-sini, dan itu hanya tentang celana.

Dulu diskusi selalu adu konsep dan  argumen. Tentang teokrasi ataukah sekuler yang paling baik. Tapi sekarang, jenis celana mana yang lebih nyaman buat organ vital manusia itu.

Ada yang bilang celana formal dengan bahan sustra lebih menonjolkan maskulitas bagi pria dan perempuan lebih naik derajatnya. Tetapi di sisi lain, banyak juga masyarakat yang mengidolakan celana chino karena anak muda perlu memperlihatkan identitasnya yang kasual dan tidak kaku walaupun saat bekerja. Ada lagi yang gemar dengan jeans. Celana yang identik dengan budaya urban. Simbol modernisme, kemajuan teknologi dan zaman milenial. Karena memaki chino dan celana formal, bagi penggemar jeans serupa foundhing father saat rapat persiapan kemerdekaan, kuno!.

Kemarin, aku yang sudah berusia 20 tahuni ini, harus merelai dua kubu anak SMP yang tawuran akibat perbedaan selera celana. Ada juga Lima kasus pemerkosaan dan tiga kasus pembunuhan dengan motif bantah-bantahan celana.

Sejak merdeka negara ini selalu memperkarakan perbedaan, bukan malah mencari sinergitas dan titik temu. Sekarang semakin edan, negara terpecah hanya karena pelindung kelamin.

Daripada memikirkan siapa bisa menyelesaikan masalah toleransi yang hanya sekedar sampul itu, bagaimana kalau aku saja yang jadi pemimpinannya. Maju sebagai salah satu calon. Tanpa wakil presiden. Karena sendiri lebih terarah dalam menyusun program. Satu suara, satu sumber kebijakan. Tiada wakil yang pura-pura berkolaborasi, padahal nyatanya oposisi.

Waktu bagi orang tua telah berakhir. Periode mereka hanya digunakan untuk merumuskan dan mendefiniskan secara teoritis masalah-masalah yang ada. Apa itu buta huruf? Apa itu defisit ekonomi? Apa itu kekerasan sexual dan lain-lain.

Negera tanpa celana. Aku rasa itu adalah solusi kongkrit bagi kondisi mmasyarakat pada saat ini. Begitulah anak muda berpikir. Daripada pada mengusir capung yang terus menghinggapi lampu, lebih baik matikan lampunya. Nanti kita temukan bagaimana cara berjalan dalam gelap. That’s called creative.

Tanpa tim sukses. Aku yakin bisa menang hanya dengan menawarkan konsep itu pada saat kampanye. Terbayang saat aku berbicara di depan simpatisan, “Negara apa kita ?” dan dijawab “Negara tanpa celana”. Lalu kuakhiri dengan pekikan mainstream aktivis nasi bungkus, “Merdeka!”.

Banyak hal baik yang bisa didapat dari ide gilaku. Tentu saja baik berdasarkan subjektifitas sebagai orang nomor satu di negeri ini. Karena Yang aku tahu, acuan kebenaran sebuah narasi adalah hagemoni yang diciptakan penguasa.

Media akan berpikir dua kali untuk menyebar hoax, mengendalikan presepsi atau apapun untuk menjatuhkan orang lain. Dari redaktur, reporter hingga presenter berita sibuk menyembunyikan kemaluan mereka. Tidak ada lagi pemberitaan yang berisi fitnah terhadap golongan tertentu. Atau prestasi yang disajikan sedemikian rupa hingga terlihat seperti aib.

Para pewarta terus mencari cara agar kelamin mereka tidak terekspos. Menyembunyikan diri. Menutup semua keran informasi yang bisa menampilkan organ vital mereka ke layar televisi maupun surat kabar. Akhirnya, mediapun tidak lagi mengurusi hidup orang lain. Berita hilang. Media masa pun mati. Kebenaran dicari secara objektif oleh individu lewat investigasi mandiri dan kajian ilmiah.

Selain itu, aku juga bisa menyelamatkan generasi bangsa. Kelas sosial yang begitu penting perannya di kemudian hari, hancur akibat pronografi yang kian menjamur. Moral mereka rusak dan akal sehat mereka menciut. Terjadilah kekerasan sexual di mana-mana. Hubungan badan diluar nikah jadi tren saat ini. Tetapi dengan larangan memakai celana yang aku keluarkan, indra mereka akan terbiasa dengan selangkangan. Menjadikannya pendidikan sex yang selama ini dianggap tabu. Sehingga rasa penasaran terhadap tubuh lawan jenis dapat teratasi.

Masih seputar urusan ranjang. Negara tanpa celana membuat bisnis prostitusi bangkrut. Mereka kehilangan penikmat yang rela membayar ratusan juta untuk melihat benda yang berada di antara paha tersebut. Orang-orang, terlebih khusus para maniak, sudah terbiasa melihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Dan setelah tiga tahun pemerintahanku, kemaluan bukan lagi bagian privasi. Masyarakat tidak perlu lagi mencarinya di kafe remang-remang.

Bagi teman-teman LGBT, ini adalah upaya pemulihan secara sistematis. Bukan memaksa seperti yang sering dilakukan masyarakat, tetapi dengan menunjukan bahwa yang berbeda memiliki bentuk lebih baik dan terasa lebih indah. Sehingga lambat laun, mereka akan kembali ke fitrah.

Itulah deretan materi yang akan ku sampaikan pada saat kampanye. Mengumpulkan orang sebanyak mungkin. Terserah dari kelompok mana mereka berasal. Yang penting rasionalisasiku soal negara tanpa celana bisa tersampaikan.

Apakah itu mungkin? Berbicara seperti itu di tengah orang-orang yang beragam, namun identik dalam satu hal. Sama dalam hal membela Tuhan secara membabi buta. Sering menciptakan Konflik vertikal di atas nama baik Tuhan masing-masing.

Sungguh tidak mungkin mereka mau menerima konsep negara yang aku tawarkan. Toh masyarakat teokratis tidak akan mau sembahyang tanpa celana.

Ku urungkan niatku maju di pemilu 2019. Karena jangankan menjadi presiden, baru berkampanye saja sudah akan dibilang  kafir.

Luwuk,  2 Januari 2017

Komentar