BERTERIAK FEMINIS, TAPI MASIH "LADIES FIRST" (Esai)



Saya tidak meragukan klaim setara yang selalu kalian ucapkan. Malahan mengutuk siapapun yang coba merealisasikan lagu yuni sarah, “wanita dijajah pria sejak dlu, sejak dulu wanita dijajah pria”. Berulang-ulang bait itu disenandungkan, cerminan kaum adam yang semena-mena.

Biarpun TV sering memberitakan kejamnya ayah yang mendaratkan tangannya ke wajah ibu, toh di sana-sini sudah banyak wanita karir yang sukses. Patut diapresiasi keberanian mereka menelantarkan anak dan meninggalkan suami. Hebat kan? Dulu sosok pria perkasa dan garang di ranjang, sekarang beberapa malah merengek di pengadilan. Apalah daya, Feminisme semakin hari semakin hebat saja dalam perkara perceraian.

Dalam rumah tangga, suami tidak lagi berhak mengeluarkan perpu. Segala macam urusan keluarga harus di selesaikan dalam sidang legislasi yang melibatkan tiga fraksi besar. Fraksi ibu, ayah dan tentunya anak. Walaupun yah, suara anak hanya satu persen dari keseluruhan parlemen keluarga.

Sebaliknya, urusan gizi bukan lagi otoritas sepenuhnya ibu. Kesetaraan gender berhasil mendudukan ayah di singgasana dapur. Bukan hanya dalam lingkup keluarga, kehidupan sosial masyarakat juga mengkhendaki demikian. Walaupun masih ada doktrin-doktrin teologis yang tetap meletakan wanita di kasur, kakus dan di depan belanga.

Perjuangan Emmeline Pankhurst di inggris, Wilhelmina Drucker di Belanda, dan tentu saja, ibu kita Kartini, sukses mewujudkan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dulu, tabu bagi wanita mengeyam pendidikan, tetapi sekarang sudah ribuan yang menyandang gelar profesor, bahkan memimpin universitas. Selain itu, Feminisme dan kesetaraan gender membuat perempuan yang awalnya tidak memiliki hak suara dalam pemilu, saat ini malah gemar terjun dalam kontestasi politik.

Tidak ada lagi kata kodrat, dimana Laki-laki dan perempuan dibatasi peran dan tanggung jawab. Masing-masing dari mereka sudah sering bertukar profesi. Mengerjakan sesuatu bukan karena kesepakatan kolektif yang di buat oleh masyarakat, tetapi berdasarkan keinginan dan cita-cita mereka sendiri. Singkatnya, Agresifitas tidak melulu berbicara soal laki-laki.

Feminisme berhasil me-rekonsrukti tatanan sosial yang syarat akan hirarki dan patriarki. Tetapi dalam praktik, ada semacam paradox yang datang dari subjek feminis itu sendiri, perempuan.

Euforia kaum hawa untuk memimpin, dan keinginan supaya dianggap sama dengan lelaki, berbalik dengan realita yang sering saya temukan di lapangan. Khususnya proses interaksi yang dilakukan sepasang kekasih.

Salah bila lelaki bertindak pasif terhadap masalah yang terjadi dalam sebuah romansa. Wanita menuntut agar pasangannya mengerti dan mengalah. Begitulah konsep perempuan zaman now tentang maskulinitas. Katanya hal itu adalah kearifan lokal yang ada pada masyarakat. Semacam aturan non-verbal yang mendefinisikan jantan sebagai yang lemah lembut terhadap wanita. Bukannya cara berpikir konservatif seperti itu yang ingin dihilangkan para feminis?

Kata-kata seperti “nggak apa-apa!”, “terserah kamu aja”, “kamu seharusnya ngertiin perasaan aku!” dipaksa untuk dimengerti oleh lelaki. Padahal dari segi substansi, hal-hal tersebut susah di mengerti. Selain itu, sangat sulit mencari tahu konteks yang di maksud sang gadis. Karena kajian terhadap permasalahan dan solusi, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pria.

Emansipasi memberikan kesempatan bagi kedua-duanya untuk aktif dalam segala bentuk interaksi sosial. Lantas mengapa masih ada dikotomi antara laki-laki dan perempuan, tentang siapa yang jadi subjek (Penyayang, yang mencoba mengerti) dan siapa yang jadi objek (Disayang, yang selalu ingin di mengerti). Apa kalian melihat adanya kesetaran gender di sini?

Saya yang menghormati dan sepakat terhadap feminisme, kadang geli dengan sikap perempuan saat ini. Bagiamana tidak, dominasi dan keunggulan laki-laki terhadap perempuan yang coba dihapuskan, dilecehkan dengan masih memberikan stigma superior kepada lelaki. Sedangkan mereka memposisikan diri sebagai sosok lemah dan harus dimanjakan.

Bagi kebanyakan wanita, “banci” jika yang superior tadi mencoba beradu argumen dengan pribadi tak berdaya. Padahal kebenaran masih bersifat relatif, dan kesetaran gender memberikan hak untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing.

Berbicara tentang kesempatan, lelaki diminta untuk selalu mendahulukan perempuan. “ladies First” katanya. Dan laki-laki yang punya jiwa ksatria harus mau melakukannya, walaupun itu dalam mengantri. Dimana Seharusnya hukum yang berlaku adalah siapa cepat, dia dapat.

Ksatria sendiri adalah kasta sosial dalam sistem feodalisme yang mengistemewakan laki-laki. Menganggap bahwa kekuatan dan perlindungan menjadi otoritas kaum bapak. Dan kembali, perempuan hanya sosok putri yang dipingit dalam kastil. Mempersiapkan diri untuk disetubuhi pangeran, agar hubungan politis kedua kerajaan tetap terjaga.

Kenapa perempuan tidak berpikir bahwa mereka juga ksatria? Menolak tatkala ada seorang lelaki yang mendahulukannya dalam antrian. Marah karena dianggap lemah dan tidak bisa sabar menunggu giliran. Karena bagi seorang feminis, yang patut dipedulikan adalah lansia atau kaum difabel. Bukan statusnya sebaga seorang perempuan.

Kalau mau terus dilindungi, dijaga dan dimengerti tanpa mencoba berlaku sebaliknya, berarti secara sadar, perempuan menyangkal konsep kesataraan gender. Seakan kalian hanyalah properti milik laki-laki yang mereka rawat dan lindungi mati-matian. Lalu dari sikap protektif tadi, meningkat menjadi dominasi dan otokrasi. Jangan marah, objek memang selalu jadi sasaran perlakuan, bukan pelaku.

Kan aneh, berteriak-teriak soal Feminisme, tapi menikmati kenyamanan dalam sistem patriarki.

Jangan tersinggung dan nangis membaca kritikan ini. Lalu lantas menjustifikasi saya sexis. Kalau ngaku feminis, silahkan bantah dalam ruang yang kalian juga diberikan hak untuk itu, menulis.

Komentar