SEX, DARI RANJANG HINGGA KERUANG KELAS (Esay)


Apa yang pertama kali muncul dibenak kalian ketika mendengar kata sex ? pasti hubungan penuh birahi di atas rajang surgawi menjadi hal yang tervisualisasi di dalam otak kalian. Sabar! jangan berlebihan! Ini bukanlah cerita erotis yang ditulis untuk menstimulus syahwat teman-teman, jadi maaf jika membuat pembaca, terutama kaum adam merasa kecewa. Kita cabut dulu label tabu terhadap sex, lalu mari-kita bermain asumsi lewat narasi tentang kebutuhan biologis ini.

70% persen pelajar SMA  di Indonesia sudah saling merasakan kemaluan lawan jenis, dan adik mereka yang duduk di bangku SMP bahkan lebih banyak jumlahnya. Gilanya lagi, si bungsu yang masih memakai baju putih merah hampir 12% sudah terjerumus dalam proses penciptaan umat tersebut, begitulah Kementrian kesehatan Republik Indonesia menakuti saya lewat statistiknya yang di himpun pada tahun 2016, dan kesadaran bahwa jomblo seperti saya sudah menahun belum menemukan hawa yang tepat, kalah dengan anak-anak ingusan tadi. Sehingga tidak heran, kasus-kasus terkait lemahnya kontrol terhadap penggunaan kelamin marak terjadi di Indonesia. Mulai dari HIV aids, aborsi, prostitusi bahkan habis tenaga dengan tangan sendiri.

Rasa ingin tahu dalam diri anak dan remaja menjadi pemicu awal mengapa materi yang notabennya di konsumsi oleh orang dewasa tersebut bisa jatuh ke tangan mereka. Saya rasa wajar-wajar saja, toh itu cara otak mereka berkembang sebagaimana proses belajar. Problemnya adalah kurangnya edukasi yang tepat kepada mereka soal yang namanya sex, terkait bagaimana mengetahuinya dan apa yang akan dilakukan dengan itu, sehingga pornografipun jadi pustaka, dan seks bebas jadi praktik. Diperkuat lagi dengan rasa penasaran anak-anak dan remaja yang menggebu-gebu pada masa pubertas mereka.

Tidak adanya ruang pembelajaran tentang seks yang baik, dalam hal ini disampaikan oleh ahli (dokter atau sexolog) dalam koridor yang tetap mampu dikontrol lewat pendidikan agama dan moral, contohnya sekolah dikarenakan adanya stigmatisasi negatif masyarakat terhadap sex. Seakan manusia sudah seperti binatang, bejat dan abmoral ketika berbicara soal Hal tersebut. Lingkungan sosial yang seperti itu menyebabkan sedikitnya informasi dasar yang bisa diperoleh soal sex, seperti organ reproduksi dan bagaimana menggunakannya. Padahal pendidikan sex (sex education) menjawab rasa ingin tahu anak-anak dan remaja memperoleh informasi tentang apa saja yang tidak boleh dilakukan di usia mereka yang masih belia.

Pemerintah Indonesia seharusnya lebih jeli dalam menangani masalah sex bebas, bukan dengan jeratan-jeratan hukuman dan cibiran-cibran yang dapat menghancurkan physicologi pelaku, tetapi mari berikan mereka pemahanan sejak dini. Karena sekali lagi, mencegah lebi baik dari pada mengobati.

Komentar