Aku adalah seorang pria yang begitu mendewakan narasi,
menyukai runtutan kronologi dan gandrung untuk selalu bercinta dengan diksi.
Pola penulisan fiksi sering aku bawa-bawa untuk menyampaikan argumentasi
terhadap apapun, termasuk gambaran tentang wilayah. Lebih spesifik lagi, sebuah kota yang baru saja masuk tahap awal
perkuliahan untuk memperoleh gelar metropolitan.
Waktu itu Agustus 2014, panas terasa hingga ke ubun-ubun
saat turun dari pesawat. Tuhan Allah masih agung rupanya. Tidak dendam dengan
segala kenakalan remaja yang pernah kulakukan. Ia mengizinkanku melangkah ke babakan yang kata sinetron penuh kisah dan romansa yang
menggiurkan untuk dijalani, kuliah.
Tidak kenal
siapa-siapa, tidak bermodal relasi se-kelas pejabat atau tokoh penting di ibu
kota provinsi sulawesi utara ini, hanya aku dan kemampuan dialek manado yang
masih amburadul. Aku merasa asing walaupun disini sama pertiwinya dengan
kampung halamanku.
Udaranya membuatku sesak. Mungkin alam bawa sadarku saking malunya, mengontrol tubuh untuk menganggap bahwa oksigen disini beda dengan yang biasanya aku hirup.
Aku melangkah lambat namun pasti di tempat pengambilan barang. Hanya senyum yang aku berikan jikalau bertatapan dengan penduduk lokal. Karena jika aku bercakap, mereka tidak akan mengerti dengan apa yang aku katakan. Sikap ini aku perhatikan mendapat respon amat positif dari orang-orang disini. Mereka tidak menatapku aneh, mencurigai atau bahkan menjauhi, melainkan seakan sudah kenal lama. Tegur dan sapaan tak henti-hentinya aku terima. Agar aman, mungkin anggukan dan kata sederahana seperti iya dan tidak, jadi pilihan terbaik sebelum sepenuhnya mengenali watak dan karakter masyarakat kota manado.
Udaranya membuatku sesak. Mungkin alam bawa sadarku saking malunya, mengontrol tubuh untuk menganggap bahwa oksigen disini beda dengan yang biasanya aku hirup.
Aku melangkah lambat namun pasti di tempat pengambilan barang. Hanya senyum yang aku berikan jikalau bertatapan dengan penduduk lokal. Karena jika aku bercakap, mereka tidak akan mengerti dengan apa yang aku katakan. Sikap ini aku perhatikan mendapat respon amat positif dari orang-orang disini. Mereka tidak menatapku aneh, mencurigai atau bahkan menjauhi, melainkan seakan sudah kenal lama. Tegur dan sapaan tak henti-hentinya aku terima. Agar aman, mungkin anggukan dan kata sederahana seperti iya dan tidak, jadi pilihan terbaik sebelum sepenuhnya mengenali watak dan karakter masyarakat kota manado.
Setelah kurang lebih lima menit menunggu, akhirnya barang-barangpun
bisa aku ambil. Utuh, sebuah koper dan dos kecil berisi dua toples abon.
Tetapi, semua kelegaan itu sirna ketika aku meraba kantong belakang dan tidak
menemukan apa-apa. Dompet, dan seluruh bentuk identitas resmiku, juga segala
jenis alat pembayaran untuk menghidupiku di perantauan lenyap tak berjejak. Oh
Tuhan! Rupanya dendammu bukan pada perjalananku, melainkan petaka itu datang
setelah aku mendarat.
Kedewasaanku yang sudah lama kupupuk membuatku tetap tenang
dalam situasi seperti ini. Aku terus memeriksa setiap bagian yang terdapat pada
barang-barang maupun kantong baju dan celanaku. Nihil! Lalu ketakutanpun datang
menghampiri, diikuti kesedihan yang hinggap secara tiba-tiba dan luar biasa. Kemudian
dari arah belakang, dua orang wanita yang kutaksir berusia tiga puluhan keatas
datang menghampiri. Menanyakan apa yang sedang terjadi dan kenapa lelaki
brewokan ini meneteskan air mata.
Selain dari segi dialek dan bahasa kedua wanita tadi yang
belum begitu kupahami, aku mencoba menganalisis
setiap momen pertama di manado ini dengan saksama, lalu kutemukan ada yang
janggal di sini. Beberapa tempat yang pernah ku kunjungi tidak akan
mempedulikan nasib orang asing, kecuali itu berekenaan dengan diri mereka. Tetapi
di kota ini, mereka bahkan berupaya menyebarkan informasi dan ikut mencari
dompet milik seorang anak asal sulawesi tengah dengan logat yang mungkin cukup
asing ditelinga mereka.
Sejam sudah tak terasa, dan Tuhan memutuskan untuk mengakhiri
hukuman atas dosa-dosaku, dompetpun ditemukan.
Sejak masuk kedalam gedung terminal, sudah ku rasakan
lewat senyum dan tatapan hangat dari masyarakat setempat, ditambah sebuah perlakuan
dan kepedulian yang di tempat lain, perlu menjadi saudara dulu atau minimal
seorang sahabat.
Keramahan yang diberikan masyarakat kota manado menghancurkan sekat pembatas antara pendatang dan tuan tanah,
atau mencegah adanya celah pemisah berdasarkan suku atau golongan yang berbeda. Secara
praktis, bertambah keyakinanku terhadap hal tersbebut ketika digratiskan
membayar makanan di salah satu rumah makan, dibantu mendorong kendaraan yang
mogok, dan ketika puluhan orang datang untuk mendonorkan darah mereka kepada
orang yang sama sekali tidak mereka kenal.
Aku tidak akan menjelaskan secara detail setiap detik
berharga yang ku lalui disini, dari awal ku datang hingga sekarang tidak lama lagi akan memperoleh gelar sarjana. Karena ini bukan diari ataupun sebuah artikel yang
meberikan informasi dari A-Z tentang kota Manado. Silahkan bangun perspektif sendiri
dengan berkunjung ke kota ini. Yang jelas, kalian tidak akan menemukan
diskriminasi dan intoleransi di manado, karena Tuhan terpingkal-terpingkal di
laboratoriumnya, hingga ia lupa mencampurkan sikap egoisme dan apatis pada saat
menciptakan manusia manado.
Manado, 17 Desember 2017
Komentar
Posting Komentar