- I
-
Sudah
hapal mati aku dengan eforia semacam ini. Bangun pagi dengan sikat gigi produk
luar negeri dan pasta yang terasa manis. Sedikit kucicipi rasa jeruk di campur pepper mint yang acap kali membuatku
menutp mata karena saking pedasnya, saking kecutnya. Yang penting satu hal, aku
tidak bersama mereka di sana, di jalan raya depan rumahku dengan spanduk yang
dijunjung tinggi dan suara megaphone
yang memekakan telinga. Merdeka ! Merdeka ! mereka pikir ini jalan nenek moyang
mereka. Aku tidak menampik bahwa Indonesia bukan tanah mereka mengenyangkan
perut, tapi atas nama hak asasi manusia, mereka mengganggu tidurku.
Pagi
ini, saat di kelas, hanya aku dan sebagian manusia berkaca mata tebal yang
serius menatap dosen dengan penuh gairah, seakan ingin berfantasi riah dalam
aktivitas onani yang membuat mereka lelah. Asal ilmu sudah di dalam hati, mata
mereka tak sedikitpun bergeming.
Tugas
mereka terima tanpa pandang bulu, dua lembar, tiga lembar hingga ratusan lembar
mereka selesaikan dalam sekali kedip. Ketua senat mahasiswa sudah berulang kali
masuk, memprovokasi ratusan mahasiswa
untuk mendampinginya di singgasana parlemen jalanan.
“Minggir
!” kuusir mereka dari tengah jalan tempat mobilku melintas. Tak tahu apa jika
calon penerima beasiswa kuliah diluar negeri sedang ada di sini. Di keramaian
yang bagi aku adalah retorika kosong, asumsi tanpa bukti, koreksi tanpa
refleksi. Begitulah mereka, subjek yang selalu aku dan para profesor di kampus
jadikan lelucon saat berdiskusi ria di dalam laboratorium penelitian.
Di
kerumuman ini ada Ratna, perempuan yang membuat aku bernafsu untuk menggaulinya
di ranjangku yang mewah. Ranjang tempat aku dan para dedengkot yang selalu
‘iya’ saat uang pecahan seratus ribuan mendarat dikantong mereka. Mereka pikir aku
begitu bodoh dengan akal bulus para budak harta tersebut, yang selalu
menganggap aku sahabat saat hartaku mereka babat.
Ranjang
dimana belasan buku tergelatak indah bak wanita yang sudah dijamah oleh ratusan
lelaki biadap. Maka tentu, hanya ada huruf ‘A’ dalam nilai akademikku. Tapi
itulah Ratna, mewahnya ranjang ini tidak dapat membuatnya berbaring binal
disini. Karena dia lebih memilih di sana, di tengah jalan, di bawah mentari
yang mereka pikir bikin mereka kuat.
“Merdeka
!”
“Bodoh
!” jawabku dalam hati saat mendengar teriakan mahasiswa barusan.
“Lawan
!” aku diam, membuka jendela mobil dan mengintip suasana diluar sana. Ratna si
dada montok, sebutanku bersama teman-teman priaku yang konyol dan selalu
memujaku layaknya firaun mesir, pemilik piramida.
Jumlah
para demonstran bertambah, kini hampir seribu walaupun sudah mati tiga. Apakah
mereka mengganggap kulit mereka besi, atau seringkah mereka makan kerikil ? Atau
jangan-jangan mereka titisan demit. Berani skali hanya dengan suara menantang
pucuk senapan.
“lain
kali tembak aja dikepala !” pintaku kepada kakak sulungku yang berprofesi
sebagai tentara. Kakakku sembari mengelus lembut senapannya, sesekali menepuk
pantat kakak iparku yang mengantarkan bekal makan siang kepadanya saat itu.
“Hey kami tidak asal tembak, tunggu arahan pimpinan
!”
“Kalau
dia suruh nembak aku gimana !”
“Bakalan
kakak Door !”
“Jaga
mulutmu” sela kaka iparku yang bohai walaupun dada dan pinggulnya tidak
semontok dan sekencang Ratna. Beginilah kami bersaudara, tubuh indah wanita
selalu menjadi patokan kami dalam memilih pendamping.
“Tenang
saja sayang ! aku tahu dia mahasiswa sejati, tidak mungkin mau jadi preman jalanan
macam mereka” jawab kakaku, berdiri gagah dihadapan kaca mobil sambil merapikan
baret merahnya.
“Aku
pergi dulu ya, Bambang jaga kakamu baik-baik”.
Tidak
peduli kata terakhir yang disampaikan kakaku, terus saja aku tersenyum
mendengar frasa mahasiswa sejati yang disematkan padaku. Bukan saja karena
kebanggaanku atas belasan trofi yang berjejer di etalase ruang tamu, tetapi
juga barisan bingkai fotoku dengan para pimpinan negeri, salah satunya adalah bapak
pembangunan yang selalu ku sanjung. Mulai dari tangan kanan, kiri, anak kandungnya bahkan anak tirinyapun sudah pernah berfoto denganku. Begitulah bentuk
terimakasih yang kudapat setelah mengharumkan nama pertiwi.
Oktober
98, masih saja ada segorombolan ternak yang mencari rumput di jalanan.
Suara-suara mereka bikin bising telinga. Terlalu keras hingga urat nadi mereka
hampir putus. Suryono temanku saat di bangku SMP masih dengan jas almamater
berdiri di mimbar swadaya bersama pengeras suara. Aku geleng-geleng saja sambil
tersenyum dengan salah satu petinggi partai yang aku kendarai mobilnya.
“Bambang
kelak giliran kamu jadi sasaran mereka !” kutatap wajahnya lewat cermin yang
terdapat di dalam mobil.
Aku
hanya diam sambil mencoba memahami maksud kalimatnya. Tidak ada tanda-tanda
khawatir dalam nada suaranya, tidak takut, malah semakin menjadi-jadi tawanya
saat melihat pentungan aparat menghantam salah satu mahasiswa. Jadi aku yang
hanya jadi muridnyapun, hanya bisa mencontoh sikap tenangya, yah yang mungkin
karena miliyaran uang dalam tabungannya.
Aku
melewati Ratna yang berkeringat hingga membasahi kaos hitamnya yang ketat.
Sekali lagi mataku tidak bisa lepas dari kerak rendah yang memperlihatkan garis
kenikmatan yang terasa saat dipegang. Gundukan itu, aku mau itu hadir dalam
genggamanku.
“Masih
ya ? kapan wisudanya ?” kataku lewat jendela mobil.
“Aku
dahulukan dulu kepentingan negara Bams” aku tidak mendengar suaranya. Bahkan
mataku tak menatap matanya yang hitam berkilau itu, melainkan sibuk
memperhatikan gerak bibirnya yang begitu menggoda, hingga membuat sesak di
celana.
Aku
sudah tidak tahan lagi. Kesukseskanku semasa kuliah, serta posisi strategis
dipartai politik dan beasiswa luar negeri yang sudah dalam genggaman, tidaklah
cukup memuaskan dahagaku akan fantasi tubuh Ratna. Setan sudah mendirikan istanya
dalam kerajaan birahiku, aku keluar dari mobilku, mendekap Ratna dari arah
belakang kemudian membisikan satu kalimat yang membuat bulu di lehernya
merinding “Ratna aku mencintaimu”.
“Aku
tidak bisa Bambang” jawab Ratna.
“Kenapa
? kau akan bahagia bersamaku Ratna”
“Bagaimana
aku bisa bahagia, saat harus menyakiti janin dan pemilik janin ini”
“Siapa
dia? Siapa lelaki yang sudah membuka kotak pandoraku saat aku bahkan belum
menikmati keindahan kotak itu?”
“Kontak
pandora? Sepicik itukah analogimu terhadapku? Dasar borjuis bajingan”
- II -
Aku
masih dengan rasa malas dan benci akan senyuman murahan profesor yang duduk
manis dihadapanku, terpaksa menyampaikan kata-kata puitis sembari memuji
kehebatan kampus yang sudah memberiku gelar cum
laude. Ruang publik mempersempit kata-kata kotor di dalam kepalaku untuk
menyindir akan sebarapa banyak uang yang kuhabiskan hanya demi tambahan huruf
di belakang namaku. Jadi kusimpan saja aib-aib dunia pendidikan yang meloloskan
para mahasiswa berduit sepertiku, dan menjagal kaum fakir yang tidak dapat
bersama-sama di wisuda kali ini.
Kalimat
terakhirku bersamaan dengan amukan bajing-bajing liar yang sukses membabat
keamanan kampus hingga berhasil bergabung dengan kami. Terlihat dikotomi sosial
berupa dua kubu mahasiswa dengan status akademik yang sekarang berbeda, para
wisudawan bertoga dang mereka yang lusuh penuh peluh.
‘”Turunkan
rektor! Turunkan rektor!” teriak Suryono, teman SMPku yang gila memberotak.
“Kami
mengecam segala bentuk afiliasi dunia pendidikan dengan parpol yang menyebabkan
diberengusnya hak-hak mahasiswa untuk berserikat dan mengemukakan pendapat”
sambung demonstran lain penuh antusias, tak sadar air liurnya yang bau mi
instan itu telah memenuhi seluruh bagian megaphone”
Kami
kalah jumlah. Pimpinan kami lari kocar-kacir, berlindung di ketiak asistenya
masing-masing yang juga kencing di celana melihat api revolusi mahasiswa yang
berkobar sebab kemenangan demokrasi atas tirani tangan besi telah tercapai.
Pandanganku
tertuju pada pasutri muda yang merayakan dua kemenangan secara bersamaan,
reformasi dan kelahiran anak pertama mereka yang entah kapan dan dimana mereka
melakukan pembuahan. Bukan cinta, atau akhirnya Suryono berhasil memasang cincin
di jemarinya, tapi gerilya jemari Suryono yang disambut pasrah oleh Ratna,
bahkan ditengah masa aksi yang membuatku marah dan ingin sekali berubah menjadi
iblis agar bisa menanjapkan trisulaku ke tenggorokan mereka. Beginikah bentuk
idealisme jika diterapkan secara praktikal ? saat susah perjuangan suci
dilakukan, saat berjaya asal senang dosa tidak dipedulikan.
- III
-
Hari-hariku
di inggris kulalui dengan luka yang terus menggorogoti hatiku yang hancur
lebur. Ingatanku akan dada Ratna dalam genggaman telapak tangan Suryono yang
kekar, membuat tangis tak henti-hentinya jadi emosiku sebelum kantuk menyerta
di malam hari. Apa kekuranganku ? Aku punya segalanya? Tapi tubuh Ratna berakhir
dalam pelukan anak tukang becak yang setelah tujuh tahun baru menamatkan
kuliahnya.
Aku
termenung dalam sepi, berpikir bahwa ada yang salah dengan diri ini, khususnya
sikap yang terlalu pragmatis dan jiwa yang materil. Mungkin ide-de heroik dan
sosok revolusioner seperti Suryono bisa mengais cinta Ratna yang begitu
kukasih. Oh tidak, memang benar adanya, konsep ini telah menjadi praksis tak
kala sejarah membuktikannya pada sang proklamator.
Pikiran
itu terus bergumul dan menguat dalam kepalaku hingga aku menamatkan gelar
magisterku, dan menyutuji permintaan ayah untuk menggantikannya sebagai pemimpin
di salah satu partai besar di negeri ini. Besar, sangat besar, itulah mengapa
simbol spesies hewan terkuat ini jadi lambang partainya.
“Jadi
Suryono kenapa kau mau melakukannya ? pekerjaan kotor, menghilangkan bukti dan
melenyapkan berkas” tanyaku kepada lelaki yang saat ini menjabat sebagai ketua
lembaga penanggulangan dan pencegahan terhadap korupsi di negeri ini.
Aku
faham betul dinamika seperti ini bahkan ketika aku masih duduk di bangku SMA.
Biasa bagiku melihat Ayah lalu lalang, memasukan orang secara bergantian ke
ruangan pribadinya, dan kebanyakan orang itu adalah aparat penegak hukum, yang
ia lakukan demi nyawa kader dan tentu saja nama baik partainya, dan hal
tersebut menjadi negosiasi perdanaku sebagai seorang politisi.
“Karena
ini adalah Ratna, Bambang!” nada memelas dan raut wajah ketakutan ini tidak
disangka akan datang dari seorang idealis yang dulu, jangankan pimpinan partai,
Tuhanpun ia babat kalau dzalim.
Rupanya
semesta memberiku kesempatan berpikir dan bertindak bak hero di film laga.
Melindungi kaum tertindas demi tegaknya keadilan. Malahan peluang itu mendekatiku secara percuma tanpa
dipolitisasi terlebih dahulu, dan mungkin aku harus kembali beragama lalu
bersyukur atas diberikannya kemampuan untuk menjadi pahlawan dan penyelamat
bagi partaiku dan bagi Ratna, kaderku, yang nanti akan kuminta balas budi berupa layanan
malam yang liar, akhirnya.
Manado, 15 Desember
2017
Komentar
Posting Komentar