Cahaya
begitu murung sore ini, ia terus melamun walau aku tidak henti-hentinya
bercerita lucu dan bersikap jenaka. Ada yang aneh. Sikap konyol, dan
kemampuanku membuat orang lain tertawa adalah satu-satunya alasan mengapa gadis
manis, seorang model iklan di stasiun TV terkenal ini, mau berpacaran dengan
pria kantoran dan biasa-biasa saja sepertiku.
Kedai
kopi ini terlihat sepi bagiku. Tidak ada gunanya mendengar tawa berisik
pasangan muda-mudi, rekan kerja, beberapa orang mahasiswa yang duduk di sekitar
kami berdua, berbicara soal kehidupan dan urusan masing-masing. Bisa jadi hati
mereka menuntun lidah untuk merangkai kalimat-kalimat jujur, atau otak mereka
lebih menyarankan agar cukup mengarang kesenangan untuk menutup kesedihan.
Percuma! Itu semua sepi. Tanpa kata-kata Cahaya yang menyenangkan telingaku,
tanpa senyum Cahaya yang memijat nyaman mataku, dan tanpa gerak centilnya yang
kadang-kadang membuatku terangsang untuk membuatnya diam dalam pelukanku.
“Ada
apa?” tanyaku pada Cahaya yang hanya sibuk mengaduk secangkir Capuchino kesukaannya.
“Aku
ingin kita putus!” jawab Cahaya datar.
Aku
bingung bukan kepalang. Jantungku seakan mau copot dari rongga dada yang kecil
dan kurus ini. Waktu di sekelilingku seakan terhenti, otakku tidak sanggup lagi
memikirkan hal-hal lain selain keinginan putus dari Cahaya barusan. Sementara itu,
hatiku belum mau untuk menerima kata-kata tadi sebagai sesuatu yang harus aku
tanggapi. Semua organ tubuhku menolak entah permintaan, atau perintah dari
Cahaya tadi. Aku ingin kata-kata itu selamanya terpisah dariku. Tidak pernah
menjamah telingaku, apalagi akan kuiyakan.
“Kau
serius?”
“Tuhan
yang serius!”
“Apa
maksudmu?”
“Pernakah
kau berpikir. Bahwa aku, kamu, keluargaku, keluargamu dan semua orang saat ini
hanyalah khayalan bahkan mimpi dari Tuhan. Kita bukan daging, dan tulang yang
akan terasa nikmat bila saling menyentuh. Hanya impuls, abstrak dalam kepala
seseorang. Apa pernah kau berpikir monster beruang dalam mimpimu bisa
menyakitimu? Atau Sora Aoi, aktris film porno jepang yang selalu jadi bahan
onanimu, bisa dengan nyata kau setubuhi? Seperti itulah kita, maya.”
“Aku
tidak pernah ona-“
“Bukan
itu intinya, Burhan!"
Aku
mengerti. Kau barusan bicara soal takdir. Agama kita berdua, walaupun berbeda
tapi punya pengertian yang sama soal itu. Dalam kitabku, Tuhan menulis kisah
hidup manusia jauh sebelum manusia itu lahir. Tentang kematian dan Jodoh”
“Aku
mengerti, dan nasib baik soal Rezeki bisa kita minta saat berdo’a. Kau tidak
pernah bosan-bosan mengajarkanku soal agamamu, kau ingin betul kita seiman”.
“Terus?”
“Soal
hubungan kita. Ini terjadi begitu saja. Empat bulan yang lalu aku berada di
kota Manado, jauh di utara pulau Sulawesi, dan kau di sini, Luwuk, kota kecil
di tengah pulau ini. Lalu lantas aneh, aku sama sekali tidak paham bisa setiap
malam bertemu kamu di sini. Setiap malam, selepas jam-jam penatmu di tempat
kerja. Aneh bukan?”
“Tidak
ada yang aneh. Cinta adalah bagian dari sesuatu yang telah digariskan. Tetapi
kau yang memilih untuk datang padaku. Tuhan tahu kau menerima tawaran untuk
syuting iklan pariwisata di kotaku, berkunjung ke dinas pariwisata tempatku
bekerja, dan kitapun bertemu di parkiran kantor. Aku menyapamu, dan janji untuk
mengajakmu mengelilingi kota ini. Kau mengiyakan tawaranku, kemudian kitapun
saling mengenal lebih dalam, akhirnya kau bersedia untuk menjadi pacarku,
tinggal di Luwuk dan memulai usaha event
organizer sendiri”
“Kau
menceritakannya seolah-olah kita begitu utuh dan sadar saat melakukannya.”
“Memang
begitu. Kau tidak setuju?” Kataku. Suaraku mulai meninggi. Barista yang
menyeduh kopi di depanku, kuperhatikan mencuri-curi pandang ke arah kami
berdua.
“Kita
hanya gagasan-gagasan acak yang tidak punya eksistensi untuk merasakan dan
memahami apapun. Kau tahu, hanya rangsangan, semacam listrik pada neuron. Ia
bergerak ke sana, kemari, tidak punya daya untuk berhenti apalgai mengubah arah
gerak.”
“Aku
bisa merasa. Aku mencintaimu, dan kau juga merasakannya, bukan?”
“Tuhan
yang merasakan, kita adalah lamunannya. Tokoh dalam sebuah kisah fiksi tidak
dapat merasakan cinta, ia hanyalah proyeksi dari perasaan penulisnya”
“Ciumanku
juga?”
“Iya!”
“Bagaimana
dengan malam-malam minggu yang kita gunakan untuk saling menikmati kulit dan
kelamin masing-masing. Penetrasi itu? Orgasme itu? Itu juga hanya khayalan
menurutmu?”
“Iya
benar, kita hidup. Eh bukan, dihidupkan dalam imajinasi seseorang. Bahkan hanya
mimpi, jika Tuhan saat ini terlelap.”
Ingin
rasanya ku seruput dalam sekali teguk kopi hitam yang ada di hadapanku walaupun
masih sangat panas. Lebih baik seluruh organ tubuhku melelah ketika kopi
mendidih ini mengalir dalam sela-sela tulang dan urat. Lalu mati suri, lalu Cahaya
membangunkanku. Cahaya yang telah kembali menjadi wanita glamour, pendek akal,
manja dengan selera humor yang begitu receh. Tidak berpikir bak filosof seperti
yang dilakukannya saat ini.
Kemarin
aku masih ingat ia mengancam akan meninggalkan meja makan saat makan malam
bersama keluarganya, jika aku terus membawa permasalahan politik Negara ini
sebagai topik pembicaraan antara aku, dia dan ayahnya.
Ia
selalu tertawa pada hal-hal sederhana yang tidak perlu berpikir untuk
menganggap itu tidak lucu. Seperti saat dawaiku terjatuh dari genggaman,
kelingkingku tersandung kursi, atau melihat pramusaji rumah makan yang
kehilangan penanya. Ia juga berbicara dengan sederhana, dan hanya tertarik
mendengar yang sederhana.
Apa
yang terjadi pada cahaya? Apa ia melewati perenungan panjang dalam
malam-malamnya di atas ranjangku. Aku tidak melihat adanya sikap bosan saat
kami berhubungan intim. Atau mungkin ia pernah merenung di samping jendela,
membakar rokok mild putihnya, menganggap betapa tidak pantasnya aku untuk
memilikinya.
“Kau
ingin hubungan kita berakhir, bukan?”
“Begitulah
caraku memastikannya.”
“Memastikan
apa? Imajinasi Tuhan dan segala tetek-bengek yang kau sampaikan tadi,” Aku
mulai naik pitam.
“Kau
lihat orang-orang ini!” Barangkali pengunjung kedai lain telah menganggapku
hilang akal. Mereka menghentikan sejenak aktivitas mereka, lalu memusatkan
perhatian pada pria yang saat ini sedang kesal pada gadis manis di dedapnnya,
“Mereka melihatku karena suaraku yang mulai meninggi, dan kenapa suaraku
meninggi? Karena kesal dengan perkataanmu. Semua terjadi oleh sebab yang
dilakukan oleh manusia. Ada aksi dan refleksi, ada awal, akhir dan proses,
sebab dan akibat, alasan dan tindakan, bukan semajam gerakan otomatis tanpa
sadar atas apa yang kita lakukan.”
“Kenapa
kau kesal padaku?”
“Karena
pikiranmu yang sok filosofis itu!”
“Kenapa
pikiranku begitu sok filosofis?”
“Kamu
yang tahu sebabnya, itu ada dalam pikiranmu bukan pikiranku.”
“Nah
begitulah, kita hanya sekelompok ide yang immateri. Kita tidak berkehendak dan
merasa seperti sosok yang mengimajinasikan kita.”
“Aku
asli, Cahaya. Cangkir ini asli, saat aku memegang gelas ini, aku merasa bahwa
aku nyata” aku mungkin sudah sama gilanya dengan Cahaya. Hanya karena dorongan
ingin membuatnya sepaham dengan pikiranku, aku melakukan tindakan yang begitu
bodoh, “Lihat Gelasnya jatuh, aku mempunyai kehendak untuk melakukannya.”
Rupanya
tidak cukup. Kulihat Cahaya masih masa bodoh terhadap apa yang aku lakukan. Aku
berjalan kearah panggung yang terdapat di kedai kopi tersebut. Ku hentikan
seorang pria dengan topi koboy yang sementara mendendangkan sebuah lagu Indie, “Lihat Cahaya! Lihat! Aku
menyanyi karena aku mau, karena aku menginginkan ini, karena aku bebas memilih
ini.”
Aku
kembali ke kursi tempat aku duduk sebelumnya dengan Cahaya. Masih dalam posisi
berdiri, aku marah sembari menunjuk-nunjuknya. Cahaya kemudian mengarahkan pandangannya
padaku yang terus berteriak soal keinginannya menyudahi hubungan ini.
“Siapa
laki-laki yang telah merebutmu hatimu? Siapa? Katakan, Cahaya! Katakan! Kau
begini karena kau telah mencintai lelaki selain aku, Benar kan?”
“Kau
tahu yang menyebabkan kau melakukannya? Menjatuhkan cangkir, bicara di microphone lalu sekarang marah-marah?”
kata Cahaya dengan nada yang sangat datar.
“Jangan
mulai lagi mencocok-cocokan logikamu! Oh, Tuhan!”
“Yah
benar, Tuhan lah yang—“
Aku
menampar Cahaya sebelum ia dapat menyelesaikan kalimatnya. Pipinya merah.
Kepalanya masih menghadap samping, dengan tangan yang terus ia tempelkan di
wajahnya.
“Aku
bebas. Kita bukan Cuma sekedar imajinasi ilahi yang mengawang-ngawang dalam
pikiran sang pencipta. Aku dan juga rasa sakit itu adalah ciptaannya yang
nyata. Apakah kau akan diam dan menunggu saja pikiran-Nya akan terganti dan
tiba-tiba kau sudah berada di kamar, atau kau akan sadar, dan mulai berpikir
untuk mencari tumpangan lain untuk pulang. Bye!”
* * *
Awal
September yang tandus. Mataharinya menyengat tak seperti biasanya. Asap knalpot
dan pasir-pasir halus berterbangan, membuat mata pengendara sepeda motor perih.
Dari arah pantai kilo 5, pantai iconic
di pusat kota Luwuk, kuperhatikan mata hari bakal lama untuk terbenam. Mungkin
ia takut untuk menyatu dan memeluk mesrah bumi yang kian lama, kian panas
akibat pemanasan global.
Sudah
hampir tiga puluh menit, aku memandang matahari dari balik kacamata hitamku
yang tebal, tetapi belum menemukan kata yang tepat untuk memulai cerita pendeku
tentang senja. Ah, barangkali karena aku kurang pengalaman dengan senja. Sedari
kecil, Luwuk tidak memberikanku tontonan demikian. Pantainya yang indah tidak
menggelar akstraksi semacam itu. Senja selalu bersemayam di balik
gunung-gunung, bukan samudera.
Aku
mulai saja menulis tentang Cahaya-nya saja, karena matahari dari tempatku duduk
saat ini kurang memberi inspirasi. Cahaya yang jatuh cinta pada seorang lelaki
bernama Burhan. Aku ingin Cahaya selamanya bersama Burhan. Kisah cinta mereka
berakhir bahagia, dimana Cahaya melahirkan anak-anak Burhan yang pintar dan
lucu. Tetapi Burhan tidak sesempurna yang dibayangkan Cahaya, ia posesif dan
juga impulsif.
Sebagai
Tuhan dari tokoh-tokoh yang aku ciptakan, aku tidak tega membuat Cahaya
menjalani kehidupan dengan pria semacam Burhan, tetapi ah mau bagaimana lagi,
bagaimanapun aku seorang pria, sama seperti Burhan. Aku tidak mau Burhan jadi
penyebab hancurnya hubungan mereka. Biarkan saja aku yang disalahkan.
Luwuk, 9 September 2020
Berjalanlah ke ujung siuna. ditmpat itu kau dapat menikmati senja dengan pelukan hangat. Hanya sekedar preventif.😁✌
BalasHapusBerjalanlah ke ujung siuna. ditmpat itu kau dapat menikmati senja dengan pelukan hangat. Hanya sekedar preventif.😁✌
BalasHapus